GEULAYANG: Permainan Rakyat Lintas Usia Sarat Nilai
Oleh ESSI HERMALIZA, S. Pd.I

GEULAYANG: Permainan Rakyat Lintas Usia Sarat Nilai

Leaflet diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) 

  Banda Aceh

 Do da idang geulayang blang panyang taloe Bak rijang rayeuk muda seudang Jak  bantu prang bila nanggroe

 Bermain adalah hal tidak bisa dipisahkan dari anak-anak. Sebagian besar waktu  mereka dihabiskan untuk bermain. Melarang mereka bermain dapat menghambat  kreativitas mereka. sedemikian penting masa bermain itu, sampai sistem pendidikan  pun harus mengalah dengan menciptakan sistem belajar sambil bermain. Secara natural mereka banyak belajar dari permainan yang secara rutin mereka lakoni. Dalam permainan, mereka mengenal peraturan dan hukum yang mereka buat, mereka sepakati, mereka laksanakan dan mereka patuhi. Bagi yang melanggar mereka juga taat menjalani hukuman. Peraturan dan hukum yang mereka pelajari tersebut tentu sangat sederhana, tetapi dalam hal ini orang dewasa bisa belajar dari mereka. Hebat Bukan?

Mari kita ingat kembali permainan seperti apa yang dimaksud? Ya.. Sebut saja Galah Panjang atau Hadang, Petak Umpet, Lompat Tali, Engklek/Kuaci dan lain-lain. Semua permainan dilengkapi dengan peraturan, hukuman dan nilai. Jadi selain peraturan aa nilai-nilai yang juga mereka hayati tanpa perlu diajari seperti kebersamaan, berbagi, kekompakan, kesetiaan, bahkakn memilah apa yang baik dan apa yang buruk. Tapi apakah permaian seperti ini masih dimainkan oleh anak-anak sekarang? Jika tidak, mengapa? Apa benar karena perkembangan teknologi yang terlalu cepat? Atau jangan-jangan karena gagalnya proses regenerasi dan transformasi? Pendeknya, mungkin saja itu salah kita, tidak memperkenalkan permainan tradisional itu kepada mereka.

Bagaimana dengan permainan GEULAYANG? Permainan yang satu ini merupakan permainan rakyat yang ada di mana-mana. Dalam Bahasa Nasional biasa disebut dengan LAYANG-LAYANG atau LAYANGAN. Hampir semua wilayah di Indonesia memiliki permainan ini dalam daftar inventarisasi permainan tradisionalnya. Karena selain dapat dimainkan oleh semua orang tanpa batas usia, permainan ini juga mengandung nilai-nilai yang positif. Melalui tulisan ini kira akan menggali hal-hal menarik dari permainan kreatif bernama Layang-Layang ini.

Asal Usul Geulayang Dalam budaya Aceh

Geulayang merupakan permainan yang sangat populer. Tua muda, miskin-kaya, semua suka bermain geulayang pada musimnya. Permainan ini dipercaya sebagai warisan endatu (nenek moyang). Tidak ada sejarah tertulis yang menjelaskan tentang asal-usul permainan ini. Menurut sejarah Tiongkok, layang-layang telah menjadi bagian dari budaya Tiongkok selama sekitar 2.400 tahun. Selama abad IV SM, Gongshu Ban dan Mo Di, seorang pelindung seni dan seorang filsuf, masing-masing membuat layang-layang berbentuk burung merpati kemudian dinaikkan ke udara dengan bantuan angin. Akan tetapi tidak dapat dipastikan apakah orang Tiongkok yang memperkenalkan permainan layang-layang kepada masyarakat Aceh.

Masyarakat Aceh selama berabad-abad hanya mengetahui bahwa geulayang telah dimainkan secara turun-temurun oleh endatu mereka sebagai permainan rakyat.

Jenis-Jenis Geulayang :

1. Geulayang Maco

Geulayang Maco adalah geulayang yang biasa dimainkan sehari-hari oleh anak-anak Aceh. bentuknya sederhana menyerupai eungkot maco, ikan berkepala runcing dan ekor panjang. Layangan jenis ini mudah dibuat sendiri oleh anak-anak berbekal lidi dan kantong plastik bekas atau kertas minyak. Kelemahannya, karena bahannya yang lebih sederhana, geulayang maco tidak dapat terbang terlalu tinggi. Daya ahannya terhadap terpaan angin kurang maksimal.

2. Geulayang Kleueng

Geulayang kleueng adalah jenis layang-layang yang paling dikagumi. Kleueng berati elang, bentuknya menyerupai elang yang terbentang sayapnya. Oleh karena itu geulayang kleueng juga disebut geulayang sayeuep. Geulayang jenis ini dibuat sebagai geulayang tunang, layangan yang dipertandingkan. Oleh karena itu jenis layangan ini dibuat secara khusus oleh ahlinya untuk menghasilkan layangan terbaik. Pembuat layangan harus memenuhi beberapa syarat standar agar nantinya layangan mampu terbang tinggi secara vertikal sejajar kepala.

Layangan Aceh terdiri dari 5 bagian utama yaitu: – Kepala (seurungguk) – Sayap (sayeuep) – Tulang punggung (tuleueng rhueng) – Tulang pinggang (tuleueng keuing) – Ekor (capeng) Ungkapan lokal yang sering dipakai untuk menentukan ukuran layangan adalah: “seurunggok siteungoh capeng, tuleueng rhueng dua go capeng, oanyang keuing sa ngon capeng” (kepala setengah ekor, punggung dua kali ekor, panjang pinggang setara sekor). Ukuran panjang sayap disesuaikan dengan kondisi angin pada saat pertandingan. Semakin panjang sayap akan semakin tinggi daya tahan angin yang diterima oleh layangan tersebut. pada saat hembusan angin lemah biasanya yang dimainkan adalah layangan dengan sayap pendek.

Permainan adu layangan yang dimainkan di Aceh sedikit berbeda dengan daerah lain. Permainan ini tidak mengadu benang atau keindahan layangan tetapi mengadu ke-vertikal-an (di atas kepala). Layangan yang berada paling depan (memimpin) adalah pemenangnya. Desain layangan untuk kebutuhan perlombaan ini diseduaikan dengan kemampuan layangan untuk mendapatkan daya tahan terhadap angin agar layangan mampu terbang tinggi dan berada vertikal sejajar dengan kepala pemainnya. Guelayan tunang dimainkan oleh orang dewasa karena ukurannya yang besar. Cara membuatnya pun cukup rumit dengan pengukuran yang tepat. Namun biasanya untuk proses regenerasi anak-anak sering dilibatkan menski hanya untuk menggulung dan mengulur benang. Dengan begitu perlahan-lahan mereka pada akhirnya akan menguasai hakikat geulayang tunang dengan sendirinya.

Musim Geulayang

Dahulu, musim geulayang adalah masa setelah panen sampai datangnya masa tanam berikutnya atau biasa disebut dengan luah blang, tepatnya ketika seluruh hasil panen telah diangkut dari areal sawah. Pada masa itu areal persawahan tampak seperti tanah lapang yang sangat luas. Itulah masa (musim) Geulayang. Siapa pun dapat dengan bebas bermain geulayang di sawah yang sudah besih dan kering. Sekarang di masa lahan persawahan semakin sempit, sementara semangat bermain geulayang masih ada, maka tempat bermain pun berpindah ke halaman rumah seadanya, pinggir jalan, bantaran sungai, di mana ada ruang cukup untuk melambungkan layangan.

Dahulu perlombaan layang (Geulayang Tunang) diikuti oleh setiap meunasah/gampong. Setiap gampong diwakili satu geulayang untuk diikutsertakan. Setiap warga gampong ikut berperan dalam kelompok dengan membagi tugas untuk mendukung tim gampongnya. Berbeda dengan sekarang, perlombaan diikuti secara individu. Pemerintah menyediakan lokasi seperti lapangan olahraga untuk menjadi arena permainan geualayang dalam perayaan tertentu. Setiap pertandingan pasti ada hadiah. Dahulu, hadiah yang diberikan berupa kerbau, sapi atau kambing untuk dimasak dan dimakan bersama masyarakat gampong. berbeda denga sekarang, pertandingan geulayang memperebutkan hadiah berupa uang tunai dan hanya untuk anggota tim yang bertanding saja.

Nilai Budaya dalam Permainan Geulayang

Bermain geulayang dibutuhkan lebih dari sekedar keahlian dan ketangkasan ketika menaikkan dan menurunkan geulayang. Dibutuhkan kerjasama yang baik di dalam tim. Masing-masing anggota harus menjalankan tugasnya dengan baik. mulai dari penggulung benang, peng-anjong (orang yang melambungkan layangan) hingga pengendali layangan tersebut, semuanya harus bertanggung jawab atas tugas yang diembannya. Sikap gotong royong sangat penting dalam hal ini. Selain itu, bermain layangan adalah permainan yang membutuhkan kesabaran.

Tidak selamanya layangan dapat diterbangkan dengan mudah. Layangan akan berkali-kali jatuh sampai akhirnya ia mampu terbang tinggi. Sabar adalah kuncinya. Ketika juri menetapkan pemenang, dengan memegan tali layangan yang terbang paling vertikal hingga waktu yang ditentukan, bila ada yang keberatan dapat mengajukan protes? Demokratis bukan? Nilai musyawarah diperhatikan dalam permainan ini. baik pemain, penonton maupun pemain harus sportif. Hingga pertandingan usai, kebersamaan dan keakraban adalah nilai yang sangat terasa.

Bersama-sama mereka menurunkan layangan satu per satu tanpa kecuali. Zaman telah berubah ketika gotong royong menjadi barang langka. Permainan-permainan modern dalam waktu singkat membanjiri pasar, sedangkan permainan tradisional meskipun masih dimainkan namun menjadi sedikit peminatnya dan perlahan mulai ditinggalkan. Setidaknya meskipun tidak semua pernah memainkannya kita masih ingat bahwa Aceh juga memiliki warisan budaya Geulayang Tunang.